Wednesday, July 16, 2014

A green new deal for the economy

A new report released by the World Bank has said something that many of us have been arguing for a long time – that dealing seriously with climate change will not damage the economy, as many sceptics claim, but will instead actually boost it. The Bank found that climate change mitigation and adaptation measures could contribute trillions of dollars to the world economy through new jobs, better productivity for farmers, and fewer public health problems.
Jobs could include research and development of new technologies, installing renewable energy projects or retrofitting houses to be more efficient, and a wide range of public transit jobs as car use is discouraged. Crops will be likely to grow more productively as soil quality improves and water is conserved. And public health will be benefited by cleaner water, more nutritious food, and fewer deaths from climate extremes such as heatstroke or freezing.
Of course, money will be needed for this, and a coordinated effort by governments and the public sector, and this is something that the report does not address. Due to the World Bank’s extreme capitalist ideology, they assume that all of the necessary measures can be taken by private companies through a mix of tax incentives (i.e. allowing ‘green’ companies to pay less tax) and new regulations (i.e. controlling what companies can legally do in order to force them to become ‘green’).
This would be very nice, and private companies should absolutely be encouraged to contribute to climate change mitigation and adaptation. But the idea that, in our current capitalist system, companies will take the strong steps that we need purely out of their own self-interest is misguided. The public sector will have to play a large role in bringing forward a ‘Green New Deal’. This means the government will have to be involved in large public infrastructure projects, job creation, designing and implementing new transit systems, and so on. And this means that money must be raised for such projects.
The World Bank report avoids mentioning this, but such revenues could easily be brought in by a tax on carbon. We have discussed this previously in this blog, arguing that rather than the current weak, market-led system for carbon pricing, governments need to simply begin taxing carbon emissions – this will bring in large amounts of revenue in the beginning, as well as quickly forcing companies to find efficiencies and alternatives to their current carbon emissions, essentially achieving two goals with one policy.
States can use the money from the carbon tax to implement Green New Deal policies like the ones suggested by the World Bank, thus further growing the economy and bringing in even more revenue, which in turn can be used to further improve other social systems, such as health, education, social security, and more.
If we are going to truly go green and make our economy sustainable and healthy, we need to approach things in a non-dogmatic way and accept that everyone must play a part – public sector, private sector, and individual citizens. All of us must work together, and we must use all the tools at our disposal if we are going to advance. The World Bank report is a start, although it ignores the important role of government spending – an ideological position that we need to get over if we are going to make real progress.

[ better productivity for farmers, carbon pricing, cleaner water, climate, climate change, climate change mitigation, current capitalist system, damage the economy, development of new technologies, extreme capitalist ideology, government spending, green companies, green deal for economy, Green New Deal, growing the economy, ideological position, individual citizens, job creation, make real progress, new jobs, new regulations, new transit systems, nutritious food, pay less tax, private companies, private sector, public health, public health problems, public infrastructure projects, public sector, public transit jobs, renewable energy projects, retrofitting houses, social systems, soil quality improves, sustainable economy, tax incentives, tax on carbon, taxing carbon emissions, the World Bank report, World Bank, world economy ]

Wednesday, July 9, 2014

Kurangi Greenpeace, Lebih Banyak Tenaga Ramah Lingkungan

Keadaan semakin buruk bagi LSM lingkungan yang (pernah) dijunjung tinggi, Greenpeace. Kebocoran terbaru menunjukkan bahwa departemen keuangan mereka pada dasarnya tidak mengetahui apa yang dikerjakan oleh LSM ini, dikabarkan bahwa mereka kehilangan $3 Juta AS dalam spekulasi pasar mata uang (skenario yang khususnya sangat aneh mengingat sayap kiri yang umum ini tidak menyukai perusahaan dan lembaga keuangan), dan mereka kembali diserang lagi ketika diketahui bahwa salah satu direktur kampanye mereka biasa melakukan perjalanan dinas dari Luksemburg ke Amsterdam – sangat ironis bagi LSM yang ‘hijau’ di setiap namanya.


Tampaknya semua hal yang salah tetap dilakukan, meskipun ini bukan hal yang pertama – beberapa kampanye Greenpeace beberapa tahun lalu juga gagal. Mereka diminta oleh Wilayah Samudra Hindia Britania untuk melakukan pelestarian laut, keputusan yang kemudian diketahui oleh saluran Wikileaks mengenai apa yang diinginkan oleh pemerintah AS dan Inggris Raya – rancangan pelestarian laut ini memiliki maksud bahwa pulau tersebut dapat terus digunakan sebagai basis militer AS dan juga secara besar-besaran mengurangi kesempatan penduduk asli pulau tersebut untuk kembali.

Beberapa peserta kampanye akar rumput menjadi sangat tidak puas dengan fokus Greenpeace pada pertunjukkan besar dan ramah media yang melibatkan, mendaki, membangun, atau menginvasi kilang minyak. Hal ini sangat jauh dari niat baik publik yang dirumuskan oleh organisasi ini pada tahun 1960an dan 70an, dan ketika mereka berlayar mengelilingi dunia dengan kapal Rainbow Warior yang kemudian diledakkan oleh pemerintah Prancis karena masalah yang ditimbulkan olehnya.

Sangat disayangkan melihat kegagalan LSM yang pernah berjaya, namun disamping angan-angan beberapa sayap kanan dan para penyangkal perubahan iklim, ini bukanlah akhir dunia akan pergerakan hijau – ini hanya menunjukkan betapa pentingnya memiliki gerakan akar rumput yang terorganisir dan kuat, demikian juga LSM dan badan amal terpisah dan profesional.

Terdapat sebuah argumen jika LSM tersebut mendapatkan lebih banyak rasa hormat dari para politikus daripada dari gerakan akar rumput dan oleh karena itu, mereka lebih menguntungkan sesuai dengan tujuan para politikus. Mereka tahu bagaimana berbicara dengan bahasa yang sama seperti politikus, dan untuk menggunakan saluran formal dalam pelaksanaannya; mereka memiliki uang untuk membuat iklan-iklan dan menjalankan kampanye ditargetkan yang dimengerti oleh politikus; mereka sering terlihat seperti politikus (LSM hijau di barat cenderung memiliki staf terutama yang berkulit putih, sama seperti pemerintahan barat).

Namun pada akhirnya, kekuatan asli dari setiap LSM berasal dari ancaman implisit atau eksplisit yang mereka dapatkan dari orang-orang di belakang mereka yang siap menunjukkan dukungan untuk sebuah alasan. LSM memiliki uang, namun tidak sebanyak pelobi minyak atau perusahaan lain – mereka harus memiliki banyak pendukung di belakang mereka untuk benar-benar menakuti politikus agar mendengarkan mereka. Mereka juga membutuhkan gerakan akar rumput dari orang biasa di belakang mereka hanya untuk membuat mereka terlihat normal – untuk memberitahukan kebijakan apa yang mereka wujudkan dan kebijakan lain yang harus dihentikan, dan untuk meyakinkan mereka tidak lupa atas cita-cita asli dan secara harafiah berubah menjadi membosankan, dan juga para politikus status quo seharusnya menjadi lawan.

Gerakan akar rumput seperti Occupy di AS dan Climate Camp di Inggris Raya telah berhasil mendapatkan reaksi kuat dari masyarakat, meskipun tidak bekerja sama dengan LSM. Reaksi kekerasan oleh polisi dan politikus terhadap gerakan ini menunjukkan bahwa mereka didorong dan memiliki dukungan yang cukup untuk menstimulasi perubahan nyata, bahkan jika mereka tiba-tiba ditutup oleh kekuatan masyarakat. Jika kita dapat terus membangun gerakan mendukung keadilan sosial dan lingkungan, kita dapat mengubah dunia bahkan tanpa bantuan kelompok yang tidak patuh seperti Greenpeace.

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 26.06.2014:


[ LSM lingkungan, pasar mata uang, lembaga keuangan, Greenpeace, Wilayah Samudra Hindia Britania, saluran Wikileaks, Rainbow Warior ]

Wednesday, July 2, 2014

语言的生与死

在所有与人类息息相关的事物之中,语言可能是其中最重要的一项——比政治、种族,甚至金钱都重要得多。语言很可能是人类文化中与生俱来的部分:它让我们有别于动物,也让我们与众不同,并帮助我们在特定的地方形成了具体的社区。任何一个曾在其他国家,拼命想在附近找到一个能用英语为自己说明某事的人都将明白,在这种时候,当我们不能和他人交谈的时候,我们感到自己是多么不同被排斥。语言是我们传达感情和积极、消极情绪的方式;也是我们表达特定信仰和自己文化的工具。


正因如此,当听说在我们全球化的现代社会中,语言的数量正在缩减,才如此令人悲伤。据估计,全球现存6,0007,000种语言,到2100年,多达90%的语言都可能会消失。其中,许多语言的使用人数仅为10,000人或更少,随着老人去世,而越来越多的年轻人被迫使用世界的主要语言之一,以方便沟通和参与到全球经济中来,这些使用人数更少的语言的详细信息正在消亡。

我们可能会认为这并不重要——在一个拥有70亿人口的星球上,只有10,000人使用的语言,也许并不是那么至关重要?减少语言数量可能还是件好事儿呢,这样我们就更容易相互理解了。让我们想一想圣经故事巴别塔吧——显然,以前所有人都使用同一种语言,直到上帝担心我们在试图修建上天的高塔,并决定让每个人都使用不同的语言,以此迷惑我们,让我们互相为敌。如果我们这样想,再次使用同一种世界性的语言,也就更有利于我们相互合作,了解自己的同胞。

但是,我有不同的看法。每一种语言,即使只有极少数人在使用它,也是人们表达文化和情感的独一无二的方法。每一种语言都说明了各个群体看待世界的方式略有不同——想想那著名的故事吧,住在加拿大北部的因纽特人有40个不同的词汇来描述各种各样的雪(以及不那么出名的事实,英国人也有几乎同样多的词汇来表达各种降雨……)。保护它们,理解它们,有助于我们用不同的方式看待世界,同时也能帮助我们开阔思维。

即使语言只有些微改变,也能表达人类社会的文化多样性,虽然这一点正被现代社会逐渐吞噬。想想日前因俄语和乌克兰语的差别而达成的大宗交易吧,当乌克兰在官方场合暂时禁用俄语之后,俄语使用者即试图脱离乌克兰。作为一个局外人,这两种语言几乎完全一样——对身处俄语或乌克兰语文化的人来说,其中的差异却是巨大且重要的,因为这涉及到了他们所属的群体和社区。

如今,所有人都是残酷的资本主义社会秩序的一部分,伴随着单调的文化和经历。这让我们在很多方面受益,让我们拥有了更舒适的生活。但是,数千年以来,传统的生活方式也让人类获益良多,如果能至少保留小部分这类传统,不失为一件好事,同时,也有助于人数较少、较贫穷的社区保持与众不同,并为自己的身份自豪。语言就是这样的传统,这是身份的载体,在还来得及的时候,我们应该更加努力地保护不同的对话、书写和理解社会的方式。



[ 语言的生与死, 全球化的现代社会, 全球经济中来, 巴别塔, 残酷的资本主义社会 ]

Thursday, June 26, 2014

Less Greenpeace, more green power

Things are looking bad for the (once) highly-respected environmental NGO Greenpeace. Recent leaks have shown that their finance department basically doesn’t know what it’s doing, stories have come out that they lost $3m through speculating on currency markets (a particularly bizarre scenario considering the general left-wing dislike of corporations and financial institutions), and they are now under fire again after it was revealed that one of their campaign directors used to fly to work from Luxembourg to Amsterdam – rather ironic for an NGO with ‘green’ in the very name.
It seems that everything that could go wrong is doing so, although this isn’t the first time – some of Greenpeace’s campaigns in recent years have also been flops. They pushed for the British Indian Ocean Territory to be made into a marine reserve, a decision which the Wikileaks cables later revealed to be exactly what the US and UK governments wanted – the marine reserve designation means the islands can continue to be used as a US military base, but massively reduces the chances of the indigenous people of those lands being allowed to return.
Some grassroots campaigners have also become increasingly disgruntled with Greenpeace’s increased focus on big, media-friendly stunts involving climbing buildings or invading oil rigs. This is a long way from the public goodwill that the organization built up in the 1960s and 70s, and when they sailed the world in the famous Rainbow Warrior boat that the French government eventually blew up because of the trouble it was causing them.
It’s a shame to see the downfall of a once great NGO, but despite the wishful thinking of some right-wingers and climate change deniers, it’s not the end of the world for the green movement – it simply shows the importance of having a powerful and organized grassroots movement as well as the more detached and professional NGOs and charities.
There is an argument that NGOs get more respect from politicians than grassroots movements do, and are therefore more likely to succeed in their aims. They know how to speak the same language as politicians, and to use the formal channels for doing so; they have the money to take out advertisements and run targeted campaigns that politicians understand; they often even look like politicians (the green NGOs in the west tend to be primarily staffed by white men, just like western governments).
But ultimately, the real power of any NGO comes from the implicit or explicit threat that they have a lot of people behind them who are willing to show their support for the cause. NGOs have money, but nowhere near as much as oil lobbyists or other corporations – they need to have the weight of numbers behind them to really scare politicians into listening to them. They also need a grassroots movement of ordinary people behind them simply to keep them sane – to tell them what policies they should be pursuing and which ones they should drop, and to make sure they don’t lose sight of their original ideals and literally turn into the boring, status quo politicians they are supposed to be opposing.
Grassroots movements like Occupy in the US and Climate Camp in the UK have managed to gain strong reactions from the state, even without organized NGOs to work with. The often violent reaction of police and politicians to these movements shows that they struck a nerve and had enough support to stimulate real change, even if they were eventually snuffed out by the power of the state. If we can keep building such movements in favor of social and environmental justice, we can change the world even without the help of increasingly wayward groups like Greenpeace.

[ British Indian Ocean Territory, campaign director, Climate Camp in the UK, climate change deniers, climbing buildings, environmental justice, environmental NGO, finance department, financial institutions, French government, grassroots campaigners, grassroots movement, green movement, green power, Greenpeace, Greenpeace's campaigns, invading oil rigs, marine reserve, Occupy in the US, oil lobbyists, public goodwill, Rainbow Warrior boat, right-wingers, run targeted campaigns, social justice, speculating on currency markets, stimulate real change, US military base, violent reaction, western governments, Wikileaks cables ]

Wednesday, June 18, 2014

Hidup Matinya Bahasa

Bahasa adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia - jauh lebih penting dari politik, ras, atau bahkan uang sekalipun.  Mungkin bahasa merupakan bagian yang paling melekat dari budaya manusia, karena bahasa membedakan kita dari hewan, juga membedakan antara kita dan membantu kita membentuk komunitas tertentu di tempat-tempat tertentu.  Mereka yang pernah merasakan berada di negara asing pasti berusaha keras untuk menemukan seseorang di sekitar mereka yang dapat berbahasa Inggris untuk menjelaskan sesuatu. Saat itulah kita akan menyadari betapa 'berbeda' dan merasa 'terasing' ketika kita tidak dapat berbicara kepada orang lain. Bahasa juga merupakan sarana untuk menyampaikan emosi dan perasaan kita, baik positif maupun negatif; demikian juga untuk mengungkapkan keyakinan tertentu dan pengetahuan tentang budaya kita.



Karena itulah, sungguh menyedihkan mendengar adanya bahasa-bahasa yang mati di dunia modern dan global ini.  Saat ini diperkirakan ada sekitar 6.000 hingga 7.000 bahasa yang dituturkan di seluruh dunia, dan hingga 90% dari bahasa-bahasa ini bisa punah pada tahun 2100.  Kebanyakan bahasa-bahasa ini hanya dituturkan oleh kelompok-kelompok yang terdiri dari 10.000 orang atau kurang;  ketika para penutur tua meninggal dan para anggota muda semakin terus-menerus dipaksa untuk memakai salah satu bahasa utama di dunia untuk berkomunikasi dan berpartisipasi dalam ekonomi global, pengetahuan terperinci dari bahasa-bahasa kecil ini pun menghilang.

Mungkin menurut kita hal ini tidak penting - jika hanya 10.000 orang saja yang bertutur dengan sebuah bahasa di planet yang berpenghuni 7 miliar ini, mungkinkah bahasa tersebut tidak terlalu penting? Mungkin lebih baik hanya ada lebih sedikit bahasa, sehingga kita dapat lebih mudah saling memahami.  Coba ingat kembali kisah dari Alkitab tentang Menara Babel - dikisahkan bahwa seluruh umat manusia pada waktu itu bertutur dalam bahasa yang sama, hingga Tuhan khawatir bahwa kita akan mendirikan menara ke surga dan Tuhan memutuskan untuk memberikan setiap orang bahasa yang berbeda agar kita semua bingung dan saling bermusuhan.  Apabila kita melihat pendekatan ini, kita semakin mendekati kembali ke bahasa tunggal yang akan memudahkan kita untuk bekerja sama dan saling memahami sesama kita.

Namun, saya mengambil pendekatan yang berbeda.  Setiap bahasa, sekalipun itu hanya dituturkan oleh segelentir orang saja, mengungkapkan keunikan tersendiri baik secara budaya maupun emosi. Setiap bahasa menunjukkan cara pandang setiap kelompok terhadap dunia dengan cara yang mereka masing-masing - coba pikirkan klaim suku Inuit dari Kanada utara yang terkenal bahwa mereka mempunyai empat puluh kata berbeda untuk salju (bandingkan dengan fakta yang kurang populer bahwa orang Inggris mempunyai banyak kata untuk jenis hujan yang berlainan...). Melestarikan dan memahami bahasa membantu kita membayangkan cara yang berbeda untuk melihat dunia, dan membantu memperluas wawasan kita.

Perubahan kecil dalam bahasa dapat mengungkapkan keragaman budaya manusia yang semakin terkikis di era modern ini.  Coba pikirkan masalah besar yang saat ini diketengahkan antara Rusia dan Ukraina, para penutur bahasa Rusia  berusaha untuk memisahkan diri dari Ukraina setelah bahasa mereka sempat dilarang dalam konteks resmi.   Bagi orang luar, kedua bahasa ini hampir mirip - namun bagi mereka yang campuran antara Rusia dan Ukraina, perbedaan itu terasa sekali dan penting, karena mereka mengatakan sesuatu tentang kelompok dan komunitas asal mereka.

Di dunia saat ini, kita semua menjadi bagian dari tata dunia kapitalis yang mencekik leher, dengan budaya dan pengalaman yang monoton.  Dalam banyak hal, keadaan ini menguntungkan kita dan memungkinkan kita hidup memiliki kehidupan yang lebih nyaman. Namun, akan lebih baik untuk mempertahankan sedikit kehidupan tradisional yang telah kita jalani begitu baik selama ribuan tahun, dan akan sama baiknya untuk membantu komunitas yang lebih kecil, lebih miskin, guna mempertahankan hal yang membuat mereka menonjol dan merasa bangga terhadap identitas mereka sendiri.  Bahasa adalah tradisi dan pembawa identitas, dan seharusnya kita berupaya lebih keras untuk melestarikan cara bertutur, menulis, dan memahami dunia  yang berbeda-beda sebelum terlambat.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 4.06.2014: http://annie65j.blogspot.com/2014/06/the-life-and-death-of-language.html

Hidup Matinya Bahasa, pengetahuan tentang budaya, bahasa-bahasa yang mati, Menara Babel, dunia yang kapitalis, kehidupan tradisional, komunitas yang lebih kecil

Wednesday, June 11, 2014

中国拥有更光明的未来?

本周,中国发布了两项重要通知——均是旨在保护环境及其孕育的生态系统的立法。看来在饱受国际社会批评多年之后(考虑到许多其他国家在这类问题上的档案,有时这些批评并不公平),中国终于开始关注并推行一些重大改变了。


第一项立法对中国的环境法进行了修订,制定了针对污染者的严厉惩罚。如有此类行为,公司将点名批评,如发现应对公司的污染行为负责的个人,也可能面临着最高十五天的监禁。更重要的是,在确定污染者需缴纳的罚金时,修订法并未规定限额,进而也就潜在地排除了环境法通常面临的外部性题。在许多国家,包括颁布本修订法前的中国,环境污染的罚金较少,污染之后将罚金作为商业标准成本往往会让企业更有利可图。而中国新颁布的立法则取消了罚金上限,这就意味着污染最终会让企业无利可图。现在,剩下的工作就是中国的政治家们切实贯彻这一威胁了。

第二项立法涉及到了中国在食品和药品中使用濒危物种的问题。长期以来,这都是引起世界其他地区对中国文化不满的问题所在。为了解决这个问题,新颁布的法律规定,在知情情况下,仍然消费使用濒危物种制成的产品的人,最高将面临长达十年的监禁。考虑到中医市场仍然是濒危动物贸易的主要动力之一,这项法律也将对全球的生态系统做出潜在的贡献——不过,前提是政治家有切实的力量去正确施行法律的规定。

当这些法律在实践中的效果还有待观察的同时,我们可以肯定地说,它们是朝正确方向迈出的一步。在过去几年间,部分是由于经济衰退的影响,西方国家对环境法越来越放任自由,同时也有许多保守政府将其视为繁文缛节和威胁,为了帮助他们的企业家朋友,甚至减少了这类法律。与此同时,中国,一个过去被视为在环境方面表现不佳的国家,一个其他地区通常鼓励其加强和在全球气候变化会谈上发挥自身作用的国家,树立了榜样,供其他发达和发展中国家效仿。

在西方世界,存在着一种强大的意识形态,即人们认为无需系统的改变,也能实现环境改变——只需个人行为和选择就能实现这一目标。如果我们说服足够多的人做出正确的个人选择,我们就能共同保护环境。考虑到许多污染来自旨在创造收益的系统资本主义压力,这种看问题的方式就变得非常可笑——因此,真正能保护环境的做法就是通过强有力的政府行为和立法,对污染者处以严厉的惩罚,让其不得不寻找其他途径进行经营。中国已经先行一步——其他地区是否将以其为榜样呢?



从英文版翻而来。原文于 515, http://annie65j.blogspot.com/2014/05/a-brighter-future-in-china.html

[ 保护环境, 国际社会, 中国的环境法, 中国的政治家们, 中国文化, 发达和发展中国家 ]

Wednesday, June 4, 2014

The life and death of language

Of all the things that matter to humans, language might be the most important – considerably more so that politics, race, or even money. Language is probably the most inherent part of human culture: it separates us from the animals but it also distinguishes us from each other and helps us form particular communities in particular places. Anyone who has ever found themselves in a foreign country desperately trying to find the one person nearby who can speak English to explain something for us will understand that in times like those we realize how ‘different’ and ‘outside’ we feel when we can’t speak to other humans. Language is also the way in which we convey our emotions and our feelings, positive and negative; and the way in which we express the particular beliefs and knowledge of our cultures.
This is why it is so sad to hear about the number of languages that are dying out in our modern, globalized world. It is estimated that there is currently between 6,000 and 7,000 languages spoken in the world, and that up to 90% of them could be extinct by the year 2100. Many of these languages are only spoken by groups of 10,000 people or less, and as the older speakers pass away and younger members of the group are forced more and more to use one of the major languages of the world in order to communicate and participate in the global economy, detailed knowledge of these smaller languages is disappearing.
We may think this is unimportant – if only 10,000 people speak a language on a planet of 7 billion, perhaps it is not so crucial? Maybe it’s better to have fewer languages, so we can more easily understand each other. Think of the biblical story of the Tower of Babel – apparently all humans used to speak the same language, until God worried that we were trying to build a tower to heaven and decided to give everyone different languages to confuse us and make us into enemies. If we take this approach, getting closer to having a single world language again would make us more likely to cooperate and understand each other as fellow humans.
But I take a different approach. Each language, even the ones only spoken by a handful of people, expresses something culturally and emotionally unique. Each one demonstrates how different groups look at the world in slightly different ways – think about the famous claim that the Inuit of northern Canada have forty different words for various kinds of snow (and the rather less famous fact that the British have almost as many words for the different kinds of rain…). Preserving them and understanding them helps us to conceive of the different ways in which we can see the world, and helps to broaden our mind.
Even small changes in language can express the cultural diversity of human society, which is slowly eroding in the modern age. Think about the big deal currently being made about the difference between Russian and Ukrainian, with Russian speakers trying to secede from Ukraine after their language was briefly outlawed in official contexts. To an outsider, these two languages are almost identical – to someone who is part of Russian or Ukrainian culture, the differences are massive and important, because they say something about the groups and communities they belong to.
In today’s world we are all becoming part of the same cut-throat capitalist world order, with monotone cultures and experiences. In many ways this has benefited us and allowed us to live more comfortable lives. But it would be good to retain at least a little of the traditional life that has served us so well as a species for thousands of years, and it would be equally good to help smaller, poorer communities to keep something that allows them to stand out and feel pride in their own identity. Language is that tradition, and that carrier of identity, and more effort should be put into preserving our different ways of speaking, writing, and understanding the world, before it is too late.
biblical story, carrier of identity, changes in language, convey emotions, cultural diversity, cut-throat capitalist world, dead languages, death of language, extinct languages, feel pride, foreign country, form communities, forty words for snow, global economy, globalized world, human culture, human society, Inuit of northern Canada, knowledge of cultures, live comfortable lives, modern age, monotone cultures, official contexts, politics, race, Russian speakers, single world language, speak English, Tower of Babel, traditional life

Sunday, May 25, 2014

Adakah Masa Depan yang Cerah Di Tiongkok?

Minggu ini Tiongkok mengeluarkan dua keputusan penting yang merupakan bagian dari sebuah legislasi untuk melindungi lingkungan dan ekosistem yang ada. Setelah bertahun-tahun mendapat kritik dari komunitas internasional (meskipun kadang terasa tidak adil mengingat catatan buruk yang juga dimiliki oleh negara-negara lain), Tiongkok akhirnya menanggapi dan mulai menetapkan perubahan-perubahan penting.



Bagian pertama dari legislasi ini adalah perubahan pada undang-undang lingkungan dengan memberi hukuman berat kepada perusahaan-perusahaan penghasil polusi. Nama perusahaan penghasil polusi juga akan diumumkan untuk memberi efek jera dan individu yang bertanggung jawab untuk polusi dapat menghadapi hukuman hingga lima belas hari penjara. Yang terpenting adalah batasan hukum yang ditempatkan untuk denda bagi penghasil polusi, sehingga kemungkinan besar meniadakan masalah ‘eksternal’ yang biasa dihadapi oleh undang-undang lingkungan. Di banyak negara termasuk Tiongkok sebelum revisi ini, denda terhadap polusi lingkungan sangat kecil sehingga lebih menguntungkan bagi perusahaan untuk tetap menghasilkan polusi lalu membayar denda dan menganggapnya sebagai biaya bisnis. Namun, dengan dihilangkannya batasan denda pada legislasi baru Tiongkok, maka aktivitas polusi dapat dibuat tidak menguntungkan. Kini semuanya ada di tangan politisi Tiongkok untuk mengesahkan legislasi ini.

Bagian kedua dari legislasi ini berkaitan dengan kebiasaan Tiongkok dalam menggunakan spesies terancam dalam makanan dan obat-obatan mereka. Hal ini adalah salah satu dari budaya Tiongkok yang telah lama menjadi sorotan dunia. Target dari undang-undang yang baru adalah memberi ancaman hukuman penjara hingga sepuluh tahun bagi siapa saja yang secara sengaja mengonsumsi produk yang dibuat dari spesies terancam. Mengingat pasar obat-obatan Tiongkok adalah salah satu penggerak perdagangan spesies terancam, maka undang-undang ini dapat memiliki dampak yang positif terhadap ekosistem di seluruh dunia. Tentu saja semua itu kembali bergantung pada ketegasan para politisi untuk menegakkan undang-undang ini.

Kita masih harus menunggu untuk melihat undang-undang ini dijalankan. Namun setidaknya ini adalah langkah pertama ke arah yang tepat. Negara-negara barat selama beberapa tahun belakangan ini, telah menganut paham laissez-faire (tidak ikut campur) terhadap undang-undang lingkungan setelah mengalami resesi. Pemerintah konservatif bahkan melihatnya sebagai ‘pita merah’ dan mengancam untuk mengurangi kekuatan undang-undang lingkungan demi membantu rekan-rekan bisnis mereka. Pada saat yang sama, Tiongkok, sebuah negara yang biasanya memiliki catatan lingkungan yang buruk, dan kerap dianjurkan untuk membuat perubahan dan mengambil peranan dalam perubahan iklim global, kini memberi contoh untuk diikuti negara-negara maju dan berkembang lain.

Di negara-negara barat ada ideologi bahwa perubahan lingkungan dapat dicapai tanpa sebuah perubahan sistematis, melainkan cukup melalui kegiatan dan pilihan pribadi. Jika kita dapat meyakinkan beberapa orang untuk membuat pilihan pribadi yang tepat, secara kolektif kita melindungi lingkungan. Itu merupakan pendekatan yang salah mengingat polusi yang ada kebanyakan dihasilkan oleh tekanan sistematis dari sistem kapitalis untuk menghasilkan keuntungan. Maka satu-satunya cara kita dapat benar-benar melindungi lingkungan adalah melalui tindakan tegas pemerintah dan perundang-undangan yang memberi hukuman yang berat sehingga memaksa penghasil polusi untuk mencari cara lain. Tiongkok mulai melakukan hal tersebut. Akankah dunia mengikuti contoh ini?


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 15.05.2014: http://annie65j.blogspot.com/2014/05/a-brighter-future-in-china.html

[ melindungi lingkungan dan ekosistem, komunitas internasional, perubahan pada undang-undang lingkungan, polusi lingkungan ]

Thursday, May 22, 2014

教育、经济,还是剥削?


纽约时报》最近报导了英国大学正面临的大问题——多年来,学生人数首次出现了下降。这种现象出现的原因并不在英国的本国学生,他们仍然用9000英镑的贷款支付着每年的学费,人们也反复向他们强调要找到工作,就需要获得文凭(然后他们会在毕业时,发现不管怎样也没有工作机会)。造成学生减少的原因更多在外国学生身上,他们开始摈弃英国的教育体系,这在大部分学生都是外国人的一年制硕士学位课程方面尤其明显。


这让英国的大学非常担忧,因为这些外国留学生为进入英国学校所支付的费用,要比本国学生高得多。当然,这可能就是最直接的问题所在了——对外国留学生来说,需要支付的学费本来已经高出许多,而自从英国政府取消大学收费上限之后,外国留学生的学费在过去五年又出现了快速增长。虽然对英国本国学生而言,情况正在变遭,但请不要忘记,来自英联邦和中国等新兴国家的外国留学生,长期以来都充当着受英国大学体系剥削的摇钱树——他们需要为不完整且没有充足资金的课程支付昂贵的费用,以换取留学英国魅力,他们甚至不能和英国学生一样,享受学生贷款制度提供的安全保障。

不管是对英国本国学生还是外国留学生来说,最近出现的学费上涨都是新自由主义项目的一部分,意在将教育纳入资本主义经济体系,而在某种程度上,教育曾成功地抵御过这种体系的入侵。如今,英国(及其他国家)的教育被人们当做一种产业,而不是对知识的追求——人们会为专注于有利可图的主题的院系注入资金(商业、化学、物理等),而其他院系则被视为在现代社会中毫无用处,因此面临着大幅资金被削减(英语、历史、哲学等)。同时,学生们也形成了这样的看法,他们将大学视为只有有钱人或愿意承担债务的人才能进行投资结果,他们的期望也发生了改变——每个讲师都有许多故事,讲诉那些无论提交什么都希望获得高分的学生,他们会因为我们付钱了

纽约时报》避而未谈的是,可能有越来越多的外国留学生意识到了,只有在那些经济学公式中,英国的大学才会看到他们的重要性。他们的希望、梦想和将来什么都不是——大学只把他们看成是资产负债表中有用的数字,只有在他们如此有规律地从负债表中消失的时候,他们才能得到关注。在下降的学生人数中,我希望至少有部分是因为意识到了如今的英国教育体系只是一个产业,而它的基础就是对学生的剥削(另外,在许多情况下,还有他们领取微薄薪水的教授和讲师)。

是时候改变大学体系了,希望学生人数的减少会是改变的第一步。我们需要鼓励单纯为了学习的乐趣而学习的人,而停止计算每件事的经济效益,也不要让学生认为世界就是自己和其他人无止尽的竞争。此外,我们还需要帮助世界各地的穷人,让他们能进入大学,充实自己,实现他们自己的目标——而不只是为了填满大学的银行账户。


从英文版翻而来。原文于 428, http://annie65j.blogspot.com/2014/04/education-economics-or-exploitation.html

[ 纽约时报, 英国大学, 贷款支付着每年的学费, 英国的教育体系,The New York Times ]

Thursday, May 15, 2014

A brighter future in China?

This week has seen two important announcements from China – both of them pieces of legislation that are designed to protect the environment and the ecosystems that thrive in it. It seems that after many years of being criticized by the international community (sometimes unfairly, considering the record of many other countries on these issues), China is finally taking notice and starting to implement some serious changes.
The first piece of legislation is a revision of the country’s environmental law to impose harsh penalties on heavy polluters. Companies will also be ‘named and shamed’ for their activities, and individuals who are found to be responsible for a company’s polluting actions face the possibility of up to fifteen days in prison. Most importantly, there is no legal limit placed on the size of the fines that can be handed out to polluters, thus potentially negating the ‘externality’ problem that environmental laws often face. In many countries, including China before this revision, the fines for environmental pollution are so small that it is often more profitable to simply pollute and accept the fine as a standard cost of business. The lack of an upper limit on fines in the new Chinese legislation means that pollution can finally be made decisively unprofitable. Now all that remains is for Chinese politicians to actually follow through with this threat.
The second piece of legislation regards the Chinese practice of using endangered species in food and medicine. This has long been a problem that the rest of the world has bemoaned in Chinese culture, and the new law aims to address it by threatening jail sentences of up ten years for anyone who knowingly consumes a product made from endangered species. Considering the Chinese medicine market remains one of the main drivers for the trade in endangered animals, this law could potentially have a huge contribution to ecosystems around the world – but again, only if the politicians actually have the strength of will to enforce it properly.
While it remains to be seen how these laws work in practice, we can say that they are certainly a step in the right direction. Over the past few years, and partially in response to the recession, Western countries have become increasingly laissez-faire about environmental laws, with many conservative governments seeing them as ‘red tape’ and threatening to cut down on them in order to help their friends who own businesses. At the same time, China, a country which has traditionally been considered to have a very poor environmental record, and which has often been encouraged to ‘step up’ and play its part in global climate change talks, has begun to set an example for other countries to follow – whether developed or developing.
In the west there is a strong ideology that environmental change can come about without a systemic change – it can come merely from personal actions and individual choices. If we convince enough people to make the right personal choice, we will collectively protect our environment. This is a ridiculous way of looking at the situation, considering much of our pollution comes from systemic capitalist pressure to create profit – consequently, the only way we will really protect the environment is through strong government action and legislation that forces polluters to find other ways to act by imposing harsh penalties on them. China is beginning to do that – will the rest of the world follow their example?
capitalist pressure, Chinese culture, Chinese medicine market, Chinese politicians, conservative governments, contribution to ecosystems, create profit, endangered animals, endangered species, environmental change, environmental law, fines for environmental pollution, global climate change, government action, heavy polluters, impose harsh penalties, international community, jail sentences, new Chinese legislation, poor environmental record, protect environment, red tape, response to the recession, step in right direction, systemic change, Western countries laissez-faire

Sunday, May 4, 2014

Pendidikan, Perekonomian, atau Eksploitasi?

Untuk pertama kalinya universitas-universitas di Inggris mengalami penurunan jumlah pendaftaran mahasiswa baru seperti yang dilansir dalam surat kabar New York Times baru-baru ini. Hal ini bukan terjadi pada kalangan mahasiswa asal Inggris yang masih memanfaatkan pinjaman sebesar £9.000 untuk membayar uang kuliah tahunan, karena diberitahu bahwa untuk mendapatkan pekerjaan diperlukan gelar sarjana (dan kemudian mendapati kenyataan setelah lulus bahwa tidak ada pekerjaan yang tersedia bagi para sarjana baru ini). Namun, pada mahasiswa asing yang mulai kehilangan kepercayaan pada sistem pendidikan Inggris, khususnya program magister satu tahun yang mayoritas mahasiswanya adalah mahasiswa asing.



Universitas-universitas di Inggris mulai khawatir karena para mahasiswa asing membayar biaya kuliah yang lebih mahal dibandingkan dengan mahasiswa lokal, untuk bisa menikmati sistem pendidikan di Inggris. Hal tersebut tampak seperti permasalahan intinya, bukan hanya biaya kuliah yang memang sudah tinggi, melainkan juga meroket dengan cepat dalam kurun waktu lima tahun belakangan, ketika pemerintah menaikkan batas atas biaya yang dapat dikenakan oleh universitas. Meskipun keadaannya juga memburuk bagi mahasiswa lokal, patut diingat bahwa mahasiswa asing yang berasal dari negara-negara persemakmuran dan negara berkembang lain seperti Tiongkok telah lama menjadi sapi perah dari sistem perguruan tinggi di Inggris - membayar mahal bagi kelas-kelas yang tidak persiapkan dengan baik, kurang anggaran hanya demi kebanggaan belajar di Inggris. Mereka bahkan tidak memiliki kemudahan pinjaman biaya kuliah yang dinikmati oleh mahasiswa asal Inggris.

Kenaikan biaya pendidikan akhir-akhir ini bagi mahasiswa lokal dan asing merupakan bagian dari proyek neoliberal yang bertujuan melebur pendidikan ke dalam sistem ekonomi kapitalis yang sebelumnya berhasil ditolak sampai taraf tertentu. Pendidikan di Inggris (dan banyak negara lain) kini dipandang sebagai bisnis belaka daripada sarana pemenuhan kebutuhan intelektual. Fakultas-fakultas yang berfokus pada bidang-bidang yang dianggap bermanfaat secara ekonomi (seperti bisnis, kimia, fisika, dll.) mendapat dukungan anggaran, sementara bidang lain yang dianggap tidak berguna di dunia modern (seperti sastra Inggris, sejarah, filosofi, dll) mengalami pemotongan anggaran. Sementara itu, para mahasiswa dipaksa untuk melihat universitas sebagai 'investasi' yang tersedia bagi mereka yang memiliki uang atau yang bersedia terikat pada utang, yang tentu saja membuat harapan mereka berubah. Tak jarang para dosen bercerita tentang mahasiswa yang menuntut nilai sempurna untuk apa pun yang mereka kumpulkan karena mereka merasa 'telah membayar mahal'.

Yang luput dari catatan surat kabar New York Times adalah kemungkinan bahwa para mahasiswa asing kini semakin sadar bahwa universitas hanya memandang mereka penting dari sisi nilai ekonomi. Harapan, mimpi, dan masa depan para mahasiswa ini dianggap tidak penting. Mereka hanya dipandang sebagai angka-angka pada laporan keuangan, pihak universitas baru  memerhatikan saat para mahasiswa ini tak lagi muncul pada laporan keuangan. Harapannya, semoga turunnya jumlah mahasiswa ini bersumber dari kesadaran bahwa sistem pendidikan Inggris kini tak lebih dari sebuah bisnis yang mengeksploitasi mahasiswa (juga para profesor dan dosen yang digaji murah).

Semoga penurunan jumlah mahasiswa ini akan menjadi langkah pertama dari perubahan pada sistem pendidikan di universitas. Kita harus menganjurkan orang-orang untuk belajar karena kecintaan mereka pada ilmu bukan sekadar melihat segala sesuatu sebagai perhitungan langkah ekonomi atau menganjurkan mahasiswa untuk melihat dunia sebagai kompetisi tak berujung antara diri mereka dan orang ain. Orang-orang yang miskin di seluruh dunia perlu kita bantu untuk dapat mengenyam pendidikan di universitas dan meraih tujuan-tujuan mereka, alih-alih hanya sekadar menambah gemuk rekening milik universitas.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 28.04.2014: http://annie65j.blogspot.com/2014/04/education-economics-or-exploitation.html

universitas-universitas di Inggris, penurunan jumlah pendaftaran mahasiswa baru, New York Times, program magister, mahasiswa asing

Wednesday, April 30, 2014

世界之巅上的垃圾

随着每年攀登世界最高峰——珠穆朗玛峰的季节的到来,这座宏伟的大山也将经历人们演绎的新一轮恐怖故事。今年也没有什么不同。世界屋脊似乎变成了一个垃圾桶,供络绎不绝、寻求关注的西方人在其穿越曾经一度无比危险的斜坡时丢弃垃圾。今年,垃圾和废弃氧气瓶的数量如此惊人,以至于尼泊尔政府要求游客承诺将收集并从山上额外带回8公斤的废弃物——当然,他们还需要带回自己制造的所有垃圾,否则,将无法获得登山证。



必须对此进行要求已经足够令人沮丧了,这一要求还很可能会被忽略则更是雪上加霜。来自西方的登山者已经支付了大笔金钱来攀登萨加玛塔山(珠峰的尼泊尔名称——西藏地区将其称为珠穆朗玛峰),他们将想方设法绕过这些规定,或者让当地的夏尔巴向导替他们搬运垃圾。这一要求紧接着去年发生的大事件出台,当时,一队未带助手的欧洲登山者与一群夏尔巴人发生了激烈的争吵,后者试图将经验较少的登山者安全地运送上山。这场争论变得非常不愉快,欧洲人声称他们为了生命安全,不得不逃离了该区。

尽管珠穆朗玛峰是地球上最美丽的地方之一,近来该区的景象却似乎表明了地球上的部分阴暗面。我们不会为在世界最高峰上丢弃垃圾和废弃物而感到不安,也不关心当地的生态系统和我们可能会其造成的破坏,这表明了我们生活在一次性文化中。此外,它也展示了我们在持续存在的全球不平等方面所面临的问题。

欧美富有的年轻冒险家横行在珠穆朗玛峰上,他们认为财富让他们自动拥有了前往他人土地的通行证,也让他们可以在那里随心所欲。同时,尽管这些登山者为该区带来了大量金钱,按理真正属于这片土地的当地人却仍然生活在贫困中。以传统方式谋生将让他们处于贫困和营养不良的境地,加入因珠穆朗玛峰旅游而兴起的人为经济则是快速赚钱的最佳方法,这就是他们目前所面临的情况。因此,当地的夏尔巴人最终变成了西方人的仆人、厨师和挑夫,在许多情况下,如果没有他们的帮助,这些西方人绝不可能活着登上这座山峰。但是,要处理尼泊尔的贫困问题,这可不具备真正的可持续性。

在将珠穆朗玛峰上的烂摊子收拾干净之后——这里的烂摊子可不仅仅只是垃圾,还有廉价的冒险和甚至更为廉价的服务业造成的难堪局面——就将标志着我们开始进入了一个更有尊严的时代。当对自然之美和当地人民及文化的尊重取代目前对到达山顶、然后说我做到了的痴迷时,我们才能说自己对这个世界充满了尊敬。到那时,我们将发现我们也同时到达了一个更公平和平等的世界,在那里,尼泊尔人民和他们的土地将不再只被视为为西方富人背包的骡子和拍照的背景。


从英文版翻译而来。
原文于 42, http://annie65j.blogspot.com/2014/04/trash-at-top-of-world.html

[ 珠穆朗玛峰, 垃圾, 废弃氧气瓶, 于尼泊尔政府, Everest, 登山者 ]

Monday, April 28, 2014

Education, economics, or exploitation?

The New York Times has recently reported that British universities are facing a big problem – student enrolment is falling for the first time in years. Not among British students, who are still taking out their £9,000 loans to pay for tuition every year, having been told that you need a degree to get a job (and then finding out upon graduation that there are no jobs to be had anyway). Rather, it is foreign students who are starting to turn their backs on the British educational system, particularly when it comes to one-year Masters degrees – in which foreigners make up the majority of students.
This is worrying for British universities because those foreign students pay considerably higher fees for the privilege of attending a UK school than domestic students do. Of course, that might seem like the most immediate problem here – not only are fees already higher for foreign students, but they have been rising rapidly in the past five years, ever since the government lifted the cap on the amount universities could charge. Although things are getting worse for domestic students, it’s important to remember that foreign students from the Commonwealth and other rising countries like China have long been the exploited cash cows of the British university system – paying extortionate amounts of money for half-baked, underfunded courses in exchange for the ‘prestige’ of studying in England, and not even having the safety net of the student loan system that native British students can fall back on.
For both domestic and foreign students, the recent rise in tuition fees has been a part of the neoliberal project to fully integrate education into the capitalist economic system, in a way that it had previously managed to resist to some extent. Education in the UK (and other countries) is now being treated as a business rather than as an intellectual pursuit – departments that focus on topics which are considered ‘economically useful’ are funded (business, chemistry, physics, etc.), while others are told that they are of no use in the modern world and suffer huge cuts (English, history, philosophy, etc.). Meanwhile, students are made to see university as an ‘investment’ that is only available to those who have money or are willing to take on debt, and consequently their expectations change – lecturers all have numerous stories about students who expect to get top marks no matter what they hand in, ‘because we’re paying for it’.
What is unsaid in the New York Times piece is the possibility that foreign students are increasingly realizing that they are only important to the universities in terms of those economic equations. Their hopes, dreams, and futures are of no importance – they are just seen as useful figures on a balance sheet, and they only get attention paid to them when they stop showing up on that balance sheet with as much regularity. Hopefully, at least part of this drop in student numbers comes from the realization that the British educational system is now nothing more than a business based on exploiting students (and, in many cases, their badly-paid professors and lecturers).
It’s time for a change in the university system, and hopefully this drop in student numbers will be the first step. We need to encourage people who want to learn purely for the pleasure of learning, rather than seeing everything as a calculating economic move or encouraging students to see the world as an unending competition between themselves and everybody else. And we need to help poorer people from all countries attend university to better themselves and to achieve their own goals – rather than simply to fill up the bank accounts of the universities themselves.

attend university, attending a UK school, badly-paid professors, British educational system, British students, British universities, calculating economic move, capitalist economic system, change in the university system, domestic students, drop in student numbers, economic equations, economically useful, education in the UK, exploited cash cows, extortionate amounts of money, fill up bank accounts, foreign students, get top marks, help poorer people, higher fees, intellectual pursuit, learn purely, loans to pay for tuition, native British students, neoliberal project, New York Times, one-year Masters degrees, pleasure of learning, prestige of studying in England, rise in tuition fees, student enrolment, student loan system, suffer huge cuts, unending competition

Wednesday, April 16, 2014

Sampah di Puncak Dunia

Tiap tahun, musim pendakian gunung tertinggi dunia Everest, menyisakan cerita tentang kerusakan yang kita lakukan terhadap gunung yang ‘agung’ ini. Tahun ini pun tidak berbeda. Tampaknya, atap dunia yang merupakan gunung paling berbahaya ini telah berubah menjadi tempat sampah bagi banyak “pendaki gunung yang ingin dikenal” dari negara-negara barat saat mencoba menaklukkannya. Jumlah sampah dan tabung oksigen bekas telah bertumpuk begitu banyak sehingga pemerintah Nepal memutuskan untuk hanya mengeluarkan izin pendakian jika pengunjung berjanji untuk membawa turun sampah tambahan seberat 8kg selain sampah mereka sendiri tentunya.

Kenyataan bahwa pemerintah Nepal sampai harus mengeluarkan permintaan ini tentu sangat tragis. Lebih buruk lagi, permintaan ini kemungkinan besar akan di abaikan. Tampaknya, para pendaki dari negara-negara barat yang telah mengeluarkan banyak uang untuk dapat mendaki sagarmatha (nama gunung Everest dalam bahasa Nepal - orang Tibet menyebutnya chomolungma) akan menemukan jalan pintas untuk mengabaikan persyaratan ini, atau akan meminta pemandu sherpa setempat untuk membawakan sampah ini. Asumsi ini berasal dari kisah yang menghebohkan tahun lalu di mana sekelompok pendaki tanpa pemandu asal Eropa bertengkar dengan sekelompok sherpa yang sedang mencoba membawa beberapa pendaki amatir melewati jalur yang aman. Pertengkaran tersebut memburuk, dan para pendaki Eropa mengaku bahwa mereka harus melarikan diri untuk selamat.
Meski gunung everest adalah salah satu bagian terindah dari planet kita, belakangan ini pemandangan di sekitarnya seolah menjadi gambaran dari aspek negatif planet kita. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kita tinggal di tengah masyarakat yang terbiasa membuang sampah. Sedemikan buruknya sehingga kita tak merasa bersalah atau berpikir akan dampaknya terhadap ekosistem serta kerusakan yang ditimbulkan dari membuang sampah dan limbah di puncak tertinggi dunia itu. Lebih jauh, hal tersebut juga memperlihatkan bahwa kita tinggal di dunia global yang berat sebelah.
Kini gunung everest dikuasai oleh para pemuda kaya pencari ketegangan dari Eropa dan Amerika yang merasa bahwa kekayaan mereka memberi mereka hak untuk memasuki tanah milik orang lain dan berbuat semau mereka. Sebaliknya, meskipun jumlah uang yang berasal dari para pendaki gunung ini cukup besar, penduduk setempat yang merupakan pemilik sah dari gunung tersebut masih hidup dalam kemiskinan. Penduduk ini telah mencapai titik yang memaksa mereka untuk keluar dari pola hidup tradisional, jika mereka tidak ingi terus miskin dan kelaparan. Sedangkan jika mereka mereka memilih untuk berpartisipasi dalam perekonomian semu dari pariwisata gunung Everest, mereka akan cepat mendapatkan uang. Para sherpa kini hanyalah pelayan, koki, dan pembawa beban bagi orang-orang barat, yang tanpa bantuan mereka, kebanyakan tidak akan bisa sampai ke puncak gunung dengan selamat. Ini bukanlah cara berkelanjutan untuk mengatasi kemiskinan di Nepal.
Saat kekacauan di Everest berhasil dibersihkan, bukan hanya sampah melainkan seluruh kekacauan yang ditimbulkan oleh pencari ketegangan dan industri jasa murahan, kita akhirnya akan benar-benar memasuki era yang lebih bermartabat. Jika obsesi keberhasilan mencapai puncak gunung Everest digantikan dengan rasa hormat akan keindahan alam, keunikan budaya dan masyarakat setempat, maka kita dapat sungguh-sungguh menghormati bumi kita. Jika ini terjadi, kita akan berhasil mencapai dunia yang lebih adil karena bangsa Nepal dan tanah mereka tidak hanya dipandang sebagai tenaga kasar dan latar belakang foto indah milik orang-orang barat kaya.
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 02.04.2014: http://annie65j.blogspot.com/2014/04/trash-at-top-of-world.html
[ gunung tertinggi dunia Everest, tabung oksigen, membawa turun sampah tambahan , mendaki sagarmatha, gunung Everest, chomolungma, sherpa ]

Sunday, April 6, 2014

欧洲空置房的耻辱

最近的一份报告显示,欧洲目前约有1100万座空置房,它们能够安置的人口数差不多是欧洲大陆流浪人口总数的三倍。在西班牙分布有340万座度假屋,法国和意大利各有200多万,德国180万,还有700,000座在英国。再加上分布在葡萄牙、爱尔兰、希腊和其他国家较少数量的空置房,我们就能得到这个庞大的数字。欧洲预计共有410万人无家可归——四百多万人经常流落街头,或是短暂而不稳定栖身于住宅和临时收容所中。



当然,空置房和流浪人口并不是完美的组合。许多空置房从未有人居住过,因为它们建成于导致市场崩溃的金融危机之前,要么是度假屋,要么就修在遥远的城市远郊。因此,它们从一开始就处于空置的状态,摇摇欲坠,在许多情况下,甚至都没有恰当的用水和电力供应。另外,流浪人口分布在数十个欧洲国家,而这些房产本身却主要集中在最大最富裕的五个国家境内。不过,许多这类房屋的购买者都是在外地主,他们将其视为投资,认为在等待房价上涨期间,让房屋空置更为合适(以此避免处理维修、租赁法、收取租金等问题),以便日后将其出售,赚取利润。

这是明白无误的公开牟利行为,空置房和流落街头的人并存,是对社会应优先处理的事项的尖锐评论。各国政府不但没有通过寻找使用这些房屋的方法来解决问题,而是让问题变得更难解决。以英国为例,当前政府通过了反占屋法,据称,该项法律旨在阻止“反政府主义者”和东欧移民在屋主外出度假期间占用他人房屋。实际上,类似这样的情况从未发生,当然,此项法律也阻止了无家可归的人占用被业主空置数月或数年的建筑——在以前,要在此类房产中居住数周,直到法院令其搬出是完全有可能的;而现在,这变成了一种犯罪行为,警察可以立即将他们驱赶出去。

正是透过这类法律,我们才能清楚地看到,人们是如何利用“私有财产”这一思想体系来确保穷人永远贫穷,富人持续富裕的。只有成功的人才能拥有土地和住宅;而同时拥有数套房屋,并让大部分住宅处于空置状态,等待市场回暖,就只能是富人们才能实现的事情了。然而,任何试图改变这种状态的努力都会遭遇“私有财产”的呐喊!随后,穷人和中产阶级就会想“这是对的,我以后也不愿意任何人来拿走我的财产”。但是,他们却忘了在一个拥有一套小小的住宅、一辆车和一台电视机,与一个拥有数套这类财产的在外地主间存在着巨大的差异。

是时候让政府开始将房屋视作基本资源,确保人人有权使用这种资源了——就像水或食物一样。各国政府都应制定政策,鼓励屋主以合理的价格出租空置房(借助于细致而灵敏的物业税法规和系列租赁控制,也很容易实现管理)。在那时,我们就能利用这些空置房来帮助人们重新振作,维持自己的生活,最终,我们的政府将不再只是为资本主义谋利的机构,而将变成代表全体人民最佳利益的组织。


从英文版翻而来
原文于 313, http://annie65j.blogspot.com/2014/03/the-shame-of-europes-empty-houses.html

人无家可归, 临时收容所中, 空置房和, 流浪人口并不, 金融危机之