Thursday, January 30, 2014

Are the police really there to protect us?

Last week, the UK finally saw a verdict passed on the case of a man named Mark Duggan. Duggan’s name might not be well known outside of that country, but the events he inadvertently sparked are infamous. Duggan was killed in August 2011, shot by police officers who claimed he was holding a gun. The resulting protests in the Tottenham area of London escalated as residents felt the police were ignoring their concerns. Soon, things erupted, and a riot broke out – houses, cars, and buses were burned, and shops looted. The violence spread to other parts of London and to the rest of the country, and raged for five days, leaving numerous iconic images of burned-out buildings and giving politicians and the amateur sociologists of the newspaper opinion columns material for months.
And now the inquest is over, the facts and interpretations have all been laid out, and the decision has been reached. Duggan, despite being something of an unsavoury character, was in fact unarmed when the police shot him. Nevertheless, the jury decided that it was ‘lawful’ for the police to shoot and kill him. Despite fears of a repeat of the riots of two-and-a-half years ago, things have stayed fairly calm in a physical sense. But underneath the surface, tension is bubbling in the UK.
Many politicians from all parties portrayed the riots as mere criminal activity – bands of opportunistic looters who were exploiting the opportunity presented to them by a young man’s death to steal as much as they possibly could from shops and homes. But what this interpretation misses, and what seems to be confirmed by the conclusion of the inquest last week, is the increasing breakdown in trust between the public and the police. The people of Tottenham did not believe that the police have their best interests at heart, and did not believe that officers would face justice for their actions in shooting Mark Duggan, and it is this that led to the initial protests that later escalated.
The rioters aren’t the only ones whose relationship with the police has broken down over the past few years. Students protesting against cuts to courses or increases in tuition fees have been faced with repression, often being ‘kettled’ by the police – that is, surrounded by heavily-armoured police, forced to stand on the street for hours, and only allowed to leave after being ID’d and photographed. At one protest, an innocent passerby died after a policeman attacked him from behind – again, the officer did not face any serious repercussions.
Generally speaking, young and working class people in the UK are increasingly realizing that the police do not represent them. They recognize that the police are an expression of the authority of those with power, and that their main aim is to harass, arrest, and imprison anyone who challenges that power in any way. The aim of the police is the same as the aim of the politicians and businessmen who they protect – to keep the poor in poverty, and to take away their freedoms, money, and livelihoods in order to give them all to those who are already rich. The outcome of the Duggan inquest is simply the latest example that shows the collusion between the powerful and the police who protect them.
At NRGLab and the Ana Shell Fund, we believe in a different vision of society. One in which being poor doesn’t make you a target for violent repression, and one in which less money is spent on authoritarian policing, and more on creating the conditions for a better life for all – social spending, redistribution of wealth, and the use of public funds for public goods like cheap, renewable energy and housing.

Wednesday, January 22, 2014

Pihak yang Menderita Akibat Perubahan Iklim Kembali Terpukul di Konferensi COP19

Kita telah menyaksikan putaran terakhir negosiasi perubahan iklim yang diadakan di Warsawa, Polandia bulan November silam – atau yang orang kenal sebagai COP 19. Kabar yang beredar di Eropa Tengah adalah melemahnya semangat semua orang, bahkan seorang yang paling optimis sekalipun – karena, sekali lagi, belum ada kesepakatan yang tegas untuk memangkas emisi gas rumah kaca, dan tidak ada tindakan yang meyakinkan untuk menyediakan pendanaan dan bantuan keuangan guna membantu negara-negara miskin  mengatasi perubahan iklim.



Beberapa negara kaya justru bersikap lebih buruk. Ketika perundingan pertama dilakukan mulai dari dua puluh tahun lalu, negara-negara kaya sepakat untuk memangkas emisi karbon mereka antara 6-8% dari level 1990. Dalam negosiasi di Polandia itu, Jepang bersikukuh mengatakan bahwa mereka sedang merencanakan untuk meningkatkan emisi karbon 3% dari level 1990. Australia juga menjadi sasaran para aktivis karena pemerintah Australia menyangkal bahwa perubahan iklim memang sungguh-sungguh terjadi dan menolak untuk menyediakan anggaran guna membantu mengatasi masalah ini. Sedangkan Polandia juga menjadi tuan rumah bagi konferensi industri batu bara yang dijadwalkan bersebelahan dengan Konferensi COP19, dan menyatakan bahwa mencairnya es di Samudera Arktik justru patut disyukuri karena ini memudahkan upaya pengeboran minyak. Sepertinya tak ada satu negara maju pun yang menganggap masalah perubahan iklim sebagai sebuah persoalan serius.

Sudah tentu ini menambah daftar panjang kekecewaan terhadap perundingan perubahan iklim. Sejak Amerika serikat menarik diri dari Protokol Kyoto 1997, semua terlihat melambat dan puncaknya adalah berbagai argumen dan kecemasan yang diutarakan pada Konferensi di Kopenhagen tahun 2009 silam.  Tidak ada perbaikan yang dilakukan sejak saat itu, dan para pengamat pun dapat mengatakan bahwa pertemuan yang sekarang adalah pertunjukkan yang agak memalukan karena negara-negara ‘pemenang’ mencoba dan memberi hadiah sesedikit mungkin kepada negara-negara yang ‘kalah’, yang rakyatnya sedang menderita akibat serangan angin topan dan naiknya permukaan air laut.

Jelas terlihat hal ini terjadi pada negosiasi-negosiasi tersebut. Banyak orang, baik di pemerintahan dan perusahaan-perusahaan yang menjadi “pemenang” dalam sistem ekonomi kita saat ini melalui pembakaran bahan bakar fosil, memboroskan sumber daya alam, dan memastikan bawa mereka dapat langsung menerima potongan kue keuntungan sebesar mungkin dalam waktu singkat. Mereka tidak menginginkan perubahan karena perubahan berarti memberikan sebagian kekayaan mereka kepada pihak yang “kalah” – orang-orang yang justru tanahnya telah mereka curi, lingkungannya telah mereka racuni, dan rumah-rumah mereka hancur oleh kondisi cuaca yang ekstrim.  Para “pemenang” tidak terkena dampak tersebut, dan mereka mempunyai uang untuk melindungi diri mereka. Memecahkan banyak masalah yang berkaitan dengan perubahan iklim berarti berurusan dengan masalah yang paling besar, yaitu ketimpangan. Hal terakhir yang ingin dilakukan oleh para “pemenang” ekonomi  adalah mengurangi ketimpangan tersebut, karena itu sama artinya dengan membiarkan lebih banyak orang masuk ke dalam klub eksklusif mereka, dan itu pulalah yang menyebabkan kita melihat begitu banyak “janji-janji surga”, tapi sangat sedikit yang mau bertindak di COP19.

Pendekatan yang dilakukan oleh NRGLab berbeda. Kami percaya bahwa energi bersih, terbarukan, dan murah itu memungkinkan, dan seharusnya menjadi prioritas para pemerintah di seluruh dunia; alih-alih mengabiskan uang dengan membakar energi fosil, kita dapat mengubahnya menjadi sebuah infrastruktur baru untuk membantu pihak-pihak yang “kalah” dalam perubahan iklim berurusan dengan berbagai dampak dari tindakan kita dahulu yang menghasilkan polusi.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 8 Januuari: http://annie65j.blogspot.ru/2014/01/climate-losers-pole-axed-at-cop19.html

 COP19, nrglab, negosiasi perubahan iklim, membantu negara-negara miskin, mengatasi perubahan iklim, pengeboran minyak ]


Sunday, January 12, 2014

杀害猩猩,加速气候变化——一切只是为了获得棕榈油带来的蝇头小利

巧克力棒、美容霜和加油站有什么共同点呢?让人惊讶的是,这个问题的答案居然是砍伐森林,以及猩猩这一物种的逐渐消失。越多越多的人开始使用一种名叫棕榈油的产品,这种油生长在马来西亚和印度尼西亚炎热而潮湿的热带地区。由于世界各地对棕榈油的需求不断增加,政府和企业都将其视为与现有的雨林和湿地相比,更有利可图、使用土地的方法——因此,人们伐倒了猩猩的自然栖息地,转而种上了一排排受到精心照料的棕榈树。



但是,在这场与棕榈油贸易的对决中,输家并不仅仅是我们的近亲——猩猩。人们对婆罗洲岛和苏门答腊岛上森林的砍伐和对湿地的破坏,导致数吨二氧化碳被释放到大气中,进而加速了气候变化——对这些雨林的破坏应对全球3%的温室气体排放负责。在清除许多森林时,人们都采用了焚烧的办法,由此产生的烟雾影响到了人类的呼吸,影响范围甚至蔓延到了新加坡。而当地原住民使用了数百年的土地,也被夺走用于栽种棕榈树。

在《国家地理》最近的一次采访中,可持续发展顾问Robert Hii同时还指出,棕榈油带来的经济利益只有很少一部分落到了当地人的手中:“我个人曾见过这样的情况,人们向土地所有者许诺了丰厚的收入、道路、医院和学校,作为交换,他们需要让出土地权和地产,”他说道。“不幸的是,我看到更多的却是很少有承诺能够兑现。”整个体制都是为了创造输家——雨林的居民失去了他们的土地,西方的居民因为进食太多饱和棕榈油脂肪而失去健康,同时所有人都失去了赖以生存的健康气候。而这一切都是为了给极少数赢家带来利益。

那么,如果说棕榈油是如此糟糕,它为什么还会出现在我们的巧克力、冰淇淋、美容产品、饼干,甚至是我们的燃料中呢?非常简单,答案就是——利益。棕榈油很便宜,比它的替代物便宜多了,部分原因是因为它生长在雨林地区,而这类地区被视为对全球资本无真正价值的地方。对许多公司来说,转而使用更安全、更清洁、更环保、可持续发展的营养品和燃料甚至都不是一个选择——因为这会降低他们的利润。而改变生产方式,让其帮助人们生活得有尊严,公平、公正地分配财富更是绝“不可能”——因为这将拿走这种经济体制下的赢家,亦即政府和企业的资金。

NRGLab意识到了发生在东南亚雨林中的事会对所有人产生影响,并且另辟蹊径力求解决这些问题。我们希望采用不同的方法,来解决能源及经济问题——让资金能以符合人类及地球最大利益的方式运转,让如今的输家变成赢家,而不是只注重结果,借利益之名鼓励破坏行为。如果您认为您有能力提供一臂之力,帮助我们完成使命,敬请与我们联系。




杀害猩猩, 加速气候变化,了获得棕榈油, 棕榈油的需求不断增加, nrglab, NRGLab 项目, 能源 NRGLab, killing orangutans ]

Wednesday, January 8, 2014

Climate Losers Pole-Axed at COP19

Last November saw the latest round of the United Nations climate change negotiations held in Warsaw, Poland – or as the policy people call it, COP19. The news coming out of central Europe is dispiriting to even the most optimistic person – once again there has been no strong agreement on cutting greenhouse gas emissions, and no strong action on providing finance and funding to help poorer countries deal with climate change.


Some of the rich countries were worse than others. When the negotiations first began twenty years ago, the rich countries agreed to cut their emissions by around 6-8% from 1990 levels. At the negotiations in Poland, Japan insisted that it now plans to actually increase its emissions by 3% from 1990 levels. Australia was also targeted by activists because its government denies climate change is even happening, and refuses to provide any money to help combat it. Meanwhile, the Polish hosts scheduled a coal industry conference next door to COP19, and claimed that melting Arctic ice is a good thing because it will become easier to drill for oil. It seems that none of the developed countries are taking this very seriously anymore.

Of course, this is just the latest in a long list of disappointments to come from the climate change talks. There has been a slow downwards trajectory ever since the US pulled out of the 1997 Kyoto Protocol, culminating in the arguments and dismay of the Copenhagen conference in 2009. Things have never really improved since then, and any observer can tell you that the meetings are now little more than shameful displays as the 'winners' try and give away as little as possible to the 'loser' countries whose people are being attacked by hurricanes and sea level rises.

It's clear why this has happened to the negotiations. A lot of people in governments and corporations have become 'winners' in our economic system through burning fossil fuels, using up resources, and making sure they get as big a slice of the pie as possible. They don't want things to change, because it would mean giving some of their wealth away to the 'losers' – the people who have had their oil stolen, their environment poisoned, and their homes destroyed by extreme weather conditions. The 'winners' are isolated from these impacts, as they have the money to protect themselves. Solving the many problems that climate change poses is going to mean dealing with one very big issue – inequality. The last thing our economic 'winners' want to do is to reduce inequality, because that means letting more people into their exclusive little club – and that's why we saw a lot of talk and very little action at COP19.


NRGLab takes the opposite approach. We believe that clean, sustainable, and cheap energy is possible, and should be a priority of governments around the world – so that instead of spending money on fossil fuels, we can divert it towards new infrastructure to help climate 'losers' deal with the effects of our previous polluting actions.

COP19, climate change negotiations, greenhouse gas emissions, Kyoto protocol, nrglab, fossil fuels ]

Wednesday, January 1, 2014

Demi sedikit keuntungan dari kelapa sawit, kita tega membunuh orangutan dan mempercepat pemanasan global

Apa kesamaan dari coklat, krim kecantikan, dan  pompa bensin? Jawabannya, cukup mengejutkan, yaitu penggundulan hutan dan kepunahan bertahap spesies orangutan. Semuanya menggunakan produk yang disebut minyak sawit, yang ditanam di daerah tropis yang panas dan lembap di Malaysia dan Indonesia. Karena penggunaannya yang terus bertambah di seluruh dunia, pemerintah dan banyak pengusaha melihat pemanfaatan tanah jauh lebih menguntungkan daripada keberadaan hutan hujan dan lahan basah - sehingga habitat alami orangutan pun dibabat habis, digantikan oleh barisan pohon kelapa sawit yang dijaga ketat.

Tapi bukan hanya kerabat dekat kita, orangutan, saja yang kalah dari perdagangan minyak sawit. Deforestasi dan penghancuran lahan basah di pulau Kalimantan dan Sumatera melepaskan berton-ton karbon dioksida ke atmosfer, mempercepat perubahan iklim - perusakan hutan ini bertanggung jawab atas 3% dari seluruh emisi gas rumah kaca di seluruh dunia. Sebagian besar hutan dibersihkan dengan dibakar, yang menciptakan asap kabut yang memengaruhi pernapasan manusia dan menyebar hingga ke Singapura. Dan tanah yang telah digunakan masyarakat adat setempat selama berabad-abad direnggut dari mereka agar dapat diubah menjadi kebun kelapa sawit.

Dalam sebuah wawancara dengan National Geographic, konsultan pembangunan berkelanjutan Robert Hii juga mencatat bahwa beberapa manfaat ekonomi dari kelapa sawit sampai ke tangan penduduk lokal: "Saya pribadi melihat situasi sewaktu pemilik tanah dijanjikan penghasilan yang baik, pembangunan jalan, rumah sakit, dan sekolah sebagai ganti atas hak tanah dan kekayaan mereka," katanya.  "Sayangnya, saya melihat lebih banyak keluhan tentang cara mewujudkan janji-janji tersebut". Seluruh sistem ini dirancang untuk menciptakan para pecundang - penduduk di hutan hujan kehilangan tanah mereka, orang-orang di barat sakit karena terlalu banyak memakan makanan yang mengandung lemak jenuh minyak kelapa sawit, dan kita semua kehilangan iklim sehat yang kita butuhkan untuk bertahan hidup. Dan semua itu hanya demi keuntungan yang diraup beberapa segelintir pemenang saja.

Jadi, apabila kelapa sawit lebih banyak mendatangkan kerugian daripada manfaat, mengapa tetap ada di dalam coklat, es krim, produk kecantikan, biskuit, dan bahkan bahan bakar kita? Jawabannya cukup sederhana, yaitu keuntungan. Minyak kelapa sawit murah, jauh lebih murah daripada alternatif minyak lainnya, sebagian karena kelapa sawit ditanam di lahan hutan yang dipandang tidak memiliki nilai nyata sebagai modal global. Mengubahnya ke bentuk bahan bakar dan nutrisi yang lebih aman, bersih, ramah lingkungan dan berkelanjutan bukan suatu pilihan bagi banyak perusahaan - karena akan mengurangi keuntungan mereka. Mengubah ke metode produksi yang akan membantu orang hidup bermartabat dan memberikan distribusi kekayaan yang adil dan merata, jelas-jelas 'tidak mungkin'- karena akan mengambil jatah uang pemerintah dan perusahaan-perusahaan, yang merupakan para pemenang dari sistem ekonomi ini.

NRGLab mengambil pendekatan yang berbeda untuk masalah ini, dengan menyadari bahwa apa yang terjadi di hutan hujan Asia Tenggara memengaruhi kita semua. Kami ingin mengambil pendekatan berbeda untuk masalah energi, yang juga untuk ekonomi - membuat uang bekerja untuk kepentingan terbaik bagi umat maunusia dan planet serta mengubah para pecundang saat ini menjadi pemenang, alih-alih hanya berfokus pada kepentingan utama dan mendorong penghancuran atas nama keuntungan. Jika menurut Anda, Anda memiliki keterampilan untuk membantu misi kami, mari kita saling berhubungan.



Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 15.12: http://annie65j.blogspot.com/2013/12/killing-orangutans-and-speeding-up.html

kelapa sawit, membunuh orangutan, pemanasan global, National Geographic, NRGLab Asia, Asia Tenggara