Tiap tahun, musim pendakian gunung tertinggi dunia Everest, menyisakan cerita tentang kerusakan yang kita lakukan terhadap gunung yang ‘agung’ ini. Tahun ini pun tidak berbeda. Tampaknya, atap dunia yang merupakan gunung paling berbahaya ini telah berubah menjadi tempat sampah bagi banyak “pendaki gunung yang ingin dikenal” dari negara-negara barat saat mencoba menaklukkannya. Jumlah sampah dan tabung oksigen bekas telah bertumpuk begitu banyak sehingga pemerintah Nepal memutuskan untuk hanya mengeluarkan izin pendakian jika pengunjung berjanji untuk membawa turun sampah tambahan seberat 8kg selain sampah mereka sendiri tentunya.
Kenyataan bahwa pemerintah Nepal sampai harus mengeluarkan permintaan ini tentu sangat tragis. Lebih buruk lagi, permintaan ini kemungkinan besar akan di abaikan. Tampaknya, para pendaki dari negara-negara barat yang telah mengeluarkan banyak uang untuk dapat mendaki sagarmatha (nama gunung Everest dalam bahasa Nepal - orang Tibet menyebutnya chomolungma) akan menemukan jalan pintas untuk mengabaikan persyaratan ini, atau akan meminta pemandu sherpa setempat untuk membawakan sampah ini. Asumsi ini berasal dari kisah yang menghebohkan tahun lalu di mana sekelompok pendaki tanpa pemandu asal Eropa bertengkar dengan sekelompok sherpa yang sedang mencoba membawa beberapa pendaki amatir melewati jalur yang aman. Pertengkaran tersebut memburuk, dan para pendaki Eropa mengaku bahwa mereka harus melarikan diri untuk selamat.
Meski gunung everest adalah salah satu bagian terindah dari planet kita, belakangan ini pemandangan di sekitarnya seolah menjadi gambaran dari aspek negatif planet kita. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kita tinggal di tengah masyarakat yang terbiasa membuang sampah. Sedemikan buruknya sehingga kita tak merasa bersalah atau berpikir akan dampaknya terhadap ekosistem serta kerusakan yang ditimbulkan dari membuang sampah dan limbah di puncak tertinggi dunia itu. Lebih jauh, hal tersebut juga memperlihatkan bahwa kita tinggal di dunia global yang berat sebelah.
Kini gunung everest dikuasai oleh para pemuda kaya pencari ketegangan dari Eropa dan Amerika yang merasa bahwa kekayaan mereka memberi mereka hak untuk memasuki tanah milik orang lain dan berbuat semau mereka. Sebaliknya, meskipun jumlah uang yang berasal dari para pendaki gunung ini cukup besar, penduduk setempat yang merupakan pemilik sah dari gunung tersebut masih hidup dalam kemiskinan. Penduduk ini telah mencapai titik yang memaksa mereka untuk keluar dari pola hidup tradisional, jika mereka tidak ingi terus miskin dan kelaparan. Sedangkan jika mereka mereka memilih untuk berpartisipasi dalam perekonomian semu dari pariwisata gunung Everest, mereka akan cepat mendapatkan uang. Para sherpa kini hanyalah pelayan, koki, dan pembawa beban bagi orang-orang barat, yang tanpa bantuan mereka, kebanyakan tidak akan bisa sampai ke puncak gunung dengan selamat. Ini bukanlah cara berkelanjutan untuk mengatasi kemiskinan di Nepal.
Saat kekacauan di Everest berhasil dibersihkan, bukan hanya sampah melainkan seluruh kekacauan yang ditimbulkan oleh pencari ketegangan dan industri jasa murahan, kita akhirnya akan benar-benar memasuki era yang lebih bermartabat. Jika obsesi keberhasilan mencapai puncak gunung Everest digantikan dengan rasa hormat akan keindahan alam, keunikan budaya dan masyarakat setempat, maka kita dapat sungguh-sungguh menghormati bumi kita. Jika ini terjadi, kita akan berhasil mencapai dunia yang lebih adil karena bangsa Nepal dan tanah mereka tidak hanya dipandang sebagai tenaga kasar dan latar belakang foto indah milik orang-orang barat kaya.
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 02.04.2014: http://annie65j.blogspot.com/2014/04/trash-at-top-of-world.html
[ gunung tertinggi dunia Everest, tabung oksigen, membawa turun sampah tambahan , mendaki sagarmatha, gunung Everest, chomolungma, sherpa ]
No comments:
Post a Comment