Sebuah
laporan baru memperlihatkan bahwa diperkirakan ada 11 juta rumah-rumah kosong
tersebar di seluruh Eropa –
jumlah ini lebih
dari cukup untuk menampung seluruh populasi tunawisma di Eropa, karena jumlah
rumah kosong hampir tiga kali lipat dari jumlah tunawisma. Ada 3,4 juta properti yang kosong di Spanyol,
2 juta lebih di Prancis dan Italia, 1,8 juta di Jerman, dan 700.000 di Inggris
Raya. Ditambah dengan jumlah yang lebih
sedikit di Portugis, Irlandia, Yunani,
dan beberapa negara-negara lain, sehingga jumlah seluruhnya sungguh mencengangkan. Kalau angka ini kita bandingkan dengan
sekitar 4,1 juta tunawisma –
lebih dari empat
juta orang yang tinggal di jalanan secara terus-menerus, atau di berbagai rumah
singgah, dan tempat penampungan yang tidak aman.
Memang,
rumah-rumah kosong tidak serta merta cocok dihuni tunawisma. Kebanyakan dari rumah-rumah kosong tersebut
belum pernah dihuni sama sekali, karena dibangun sebagai rumah liburan atau
berlokasi jauh di pedesaan sebelum krisis finansial mengguncang pasar. Akibatnya rumah-rumah tadi tak berpenghuni,
mulai rusak, dan kebanyakan belum terhubung dengan air bersih dan listrik. Apalagi populasi tunawisma tersebar di banyak
negara Eropa, sedangkan rumah-rumah kosong tersebut kebanyakan berada di lima
negara terkaya. Namun, kebanyakan dari bangunan ini dibeli sebagai investasi
oleh tuan tanah yang tidak ada di tempat, dan merasa lebih mudah untuk
membiarkan properti miliknya tetap kosong (agar terhindar dari urusan perbaikan,
aturan sewa-menyewa, mengambil uang sewa, dan lain sebagainya) sembari menunggu
naiknya harga bangunan, yang merupakan saat tepat untuk menjual kembali
properti mereka dan mendapatkan keuntungan.
Hal
ini jelas-jelas merupakan praktik memperoleh keuntungan dengan cara yang tidak
etis, apalagi kalau dilihat dari prioritas kita dalam hidup bermasyarakat, menjajarkan
antara rumah-rumah kosong dengan tunawisma adalah hal sangat menyedihkan.
Alih-alih
menyelesaikan masalah tunawisma dengan mencari cara agar rumah-rumah yang
kosong tersebut bisa dihuni, pemerintah justru mempersulit masalah ini.
Contohnya di Inggris Raya, pemerintah baru saja menyetujui undang-undang
antipendudukan rumah kosong (anti-squatting
law) yang melarang seseorang secara sadar memasuki rumah kosong dan menetap
di dalamnya. Undang-undang ini
dimaksudkan untuk menghentikan“kelompok anarkis”dan para imigran Eropa Timur untuk
menduduki rumah-rumah yang ditinggal pemiliknya pergi berlibur selama dua
minggu. Tentu saja, situasi ini tidak pernah terjadi, namun undang-undang
tersebut juga melarang tunawisma untuk tinggal di gedung-gedung yang dibiarkan
kosong selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun oleh pemiliknya. Sebelumnya
para tunawisma dapat tinggal di gedung-gedung semacam itu, setidaknya untuk
beberapa minggu, sebelum diusir dengan perintah pengadilan; kini, hal tersebut merupakan
pelanggaran hukum, dan polisi dapat segera mengusir mereka.
Kita
dapat melihat bahwa melalui undang-undang seperti inilah ideologi “properti milik pribadi”digunakan untuk memastikan bahwa si
miskin tetap miskin dan si kaya tetap kaya.
Hanya mereka yang sangat kaya yang bisa memiliki tanah dan rumah; hanya
mereka yang kaya yang membiarkan beberapa rumah milik mereka kosong sambil
menunggu pasar kembali pulih. Jika ada yang mencoba mengubahnya, maka akan
disambut dengan seruan “properti milik pribadi!” Hal
ini menyebabkan warga miskin dan kelas menengah untuk berpikir ‘tentu saya tidak mau orang lain datang
dan mengambil properti saya.’
Namun, mereka
lupa bahwa ada perbedaan besar antara seseorang yang memiliki rumah kecil,
mobil, dan sebuah televisi, dengan tuan tanah yang tidak di tempat dan memiliki
lebih dari satu properti.
Pemerintah
seharusnya mulai memperlakukan rumah sebagai sumber penting yang harus dimiliki
semua orang, bagian dari HAM,
sama seperti air
atau pangan. Pemerintah perlu
mengembangkan peraturan yang menganjurkan tuan tanah untuk menyewakan
rumah-rumah kosong dengar harga wajar (hal ini dapat dicapai dengan mudah
melalui semacam kode pajak properti tertentu dan peraturan pengendali
sewa-menyewa). Dengan demikian,
rumah-rumah kosong dapat dimanfaatkan dalam membantu masyarakat untuk berdikari
dan bisa mencari nafkah kembali. Jika ini dilakukan, kita akhirnya akan
memiliki pemerintah yang prorakyat, bukan yang prokapitalisme.
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli
di publikasikan tanggal di 13.03.14:
http://annie65j.blogspot.com/2014/03/the-shame-of-europes-empty-houses.html
rumah-rumah kosong Eropa, populasi tunawisma di Eropa, masalah tunawisma, imigran Eropa Timur
No comments:
Post a Comment