Kita telah menyaksikan putaran terakhir negosiasi
perubahan iklim yang diadakan di Warsawa, Polandia bulan
November silam – atau yang orang kenal sebagai COP 19. Kabar yang beredar di
Eropa Tengah adalah melemahnya semangat semua orang, bahkan seorang yang paling
optimis sekalipun – karena, sekali lagi, belum ada kesepakatan yang tegas untuk
memangkas emisi gas rumah kaca, dan tidak ada tindakan yang meyakinkan untuk menyediakan
pendanaan dan bantuan keuangan guna membantu negara-negara miskin mengatasi perubahan iklim.
Beberapa negara kaya justru bersikap lebih buruk. Ketika
perundingan pertama dilakukan mulai dari dua puluh tahun lalu, negara-negara
kaya sepakat untuk memangkas emisi karbon mereka antara 6-8% dari level 1990. Dalam
negosiasi di Polandia itu, Jepang bersikukuh mengatakan bahwa mereka sedang
merencanakan untuk meningkatkan emisi karbon 3% dari level 1990. Australia juga
menjadi sasaran para aktivis karena pemerintah Australia menyangkal bahwa
perubahan iklim memang sungguh-sungguh terjadi dan menolak untuk menyediakan
anggaran guna membantu mengatasi masalah ini. Sedangkan Polandia juga menjadi
tuan rumah bagi konferensi industri batu bara yang dijadwalkan bersebelahan
dengan Konferensi COP19, dan menyatakan bahwa mencairnya es di Samudera Arktik
justru patut disyukuri karena ini memudahkan upaya pengeboran minyak.
Sepertinya tak ada satu negara maju pun yang
menganggap masalah perubahan iklim sebagai sebuah persoalan serius.
Sudah tentu ini menambah daftar panjang kekecewaan
terhadap perundingan perubahan iklim. Sejak Amerika serikat menarik diri dari
Protokol Kyoto 1997, semua terlihat melambat dan puncaknya adalah berbagai
argumen dan kecemasan yang diutarakan pada Konferensi di Kopenhagen tahun 2009
silam. Tidak ada perbaikan yang
dilakukan sejak saat itu, dan para pengamat pun dapat mengatakan bahwa
pertemuan yang sekarang adalah pertunjukkan yang agak memalukan karena
negara-negara ‘pemenang’ mencoba dan memberi hadiah sesedikit mungkin kepada
negara-negara yang ‘kalah’, yang rakyatnya sedang menderita akibat serangan
angin topan dan naiknya permukaan air laut.
Jelas terlihat hal ini terjadi pada negosiasi-negosiasi
tersebut. Banyak orang, baik di pemerintahan dan perusahaan-perusahaan yang
menjadi “pemenang” dalam sistem ekonomi kita saat ini melalui pembakaran bahan
bakar fosil, memboroskan sumber daya alam, dan memastikan bawa mereka dapat
langsung menerima potongan kue keuntungan sebesar mungkin dalam waktu singkat.
Mereka tidak menginginkan perubahan karena perubahan berarti memberikan
sebagian kekayaan mereka kepada pihak yang “kalah” – orang-orang yang justru
tanahnya telah mereka curi, lingkungannya telah mereka racuni, dan rumah-rumah
mereka hancur oleh kondisi cuaca yang ekstrim.
Para “pemenang” tidak terkena dampak tersebut, dan mereka mempunyai uang
untuk melindungi diri mereka. Memecahkan banyak masalah yang berkaitan dengan
perubahan iklim berarti berurusan dengan masalah yang paling besar, yaitu
ketimpangan. Hal terakhir yang ingin dilakukan oleh para “pemenang”
ekonomi adalah mengurangi ketimpangan
tersebut, karena itu sama artinya dengan membiarkan lebih banyak orang masuk ke
dalam klub eksklusif mereka, dan itu pulalah yang menyebabkan kita melihat
begitu banyak “janji-janji surga”, tapi sangat sedikit yang mau bertindak di
COP19.
Pendekatan yang dilakukan oleh NRGLab berbeda. Kami
percaya bahwa energi bersih, terbarukan, dan murah itu memungkinkan, dan
seharusnya menjadi prioritas para pemerintah di seluruh dunia; alih-alih
mengabiskan uang dengan membakar energi fosil, kita dapat mengubahnya menjadi
sebuah infrastruktur baru untuk membantu pihak-pihak yang “kalah” dalam
perubahan iklim berurusan dengan berbagai dampak dari tindakan kita dahulu yang
menghasilkan polusi.
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 8 Januuari: http://annie65j.blogspot.ru/2014/01/climate-losers-pole-axed-at-cop19.html
[ COP19, nrglab, negosiasi perubahan iklim, membantu negara-negara miskin, mengatasi perubahan iklim, pengeboran minyak ]
No comments:
Post a Comment