Ponsel
pintar. Lampu dengan sensor gerakan. Mesin pencari yang merekam riwayat pencarian kita dan otomatis-melengkapi
pertanyaan kita sebelum kita menuliskannya secara lengkap. Ya – kita hidup di
era di mana sebagian besar penduduk menuntut teknologi pintar untuk mengimbangi
kekurangan mereka sendiri. Kita telah menyadari kesalahan dari cara kita
sendiri. Umat manusia sendiri. Jadi mengapa kita tidak bisa menerapkan
pemikiran yang sama untuk kota-kota kita yang kelebihan penduduk?
"Penerapannya lebih lambat daripada yang kita inginkan," seperti diakui oleh Jim Sandelin , Senior
Vice President Schneider
Electric, perusahaan penyedia energi asal Perancis. "Teknologinya sudah
ada. Platform dan analisis, yang memberitahu
Anda bagaimana bangunan dan peralatan
bekerja, baru benar-benar datang dalam
tiga atau empat tahun belakangan ini, dan [semakin] membaik
saja."
Anda bisa masuk ke McDonald dan memesan makanan
melalui sebuah menu layar sentuh interaktif. Asrama perguruan
tinggi yang diatur dengan sistem pemanasan dan pendingin yang hemat
energi membantu mengurangi biaya dan
konsumsi energi. Bahkan iPad
sudah kelihatan seperti langsung dari Star
Trek.
Jadi,
setelah ini apa?
Pusat-pusat
pengolahan data baru saat ini memungkinkan gedung-gedung perkantoran, jalan
raya, stadion dan seluruh blok di kota dijalankan melalui jaringan tunggal dan terintegrasi
yang menganalisis distribusi tenaga listrik. Namun, saat pemerintah sudah mulai berinvestasi dalam
transisi menuju “kota pintar,” pemilik bangunan swasta tetap menolak untuk membayar
tagihan.
"Banyak investor yang tidak mau tahu [dengan energi
hijau]," kata John Dawson, Direktur Regional Teknik Lincoln Properti,
sebuah perusahaan manajemen di Dallas. "Mereka tidak ingin menghabiskan
uang. Mereka mencari listrik yang sudah ada saja, jadi mengapa mereka harus
membayar untuk itu? "
Tagihan listrik tahunan kota Dallas reguler biasanya bernilai puluhan juta dolar. Sejak
tahun 2003, Balai Kota, Dallas
Museum of Art, tempat
parkir, dan puluhan bangunan
perusahaan telah direnovasi dengan
termostat otomatis, lampu dengan
sensor gerak, dan insulasi
telah diperbaiki. Pemerintah mereka memprediksi penghematan energi selama dua tahun ke depan sekitar $ 30 juta.
Meskipun kota-kota di Amerika agak enggan untuk mendukung
pembaruan yang hemat energi, di Eropa hal ini secara undang-undang justru
dibutuhkan banyak negara. Menurut Steven Moore, seorang profesor perencanaan
arsitektur di University of Texas, "Kebanyakan orang menolak perubahan karena
mereka tidak dapat segera melihat manfaatnya. [Tapi] perubahan akan datang, dan
akan ada peningkatan insentif agar lembaga dan pemerintah mau menerapkannya."
Namun membuat bangunan hemat energi jauh dari sekadar kesepakatan
"sekali dan selesai". Ketika makin berumur, bangunan-bangunan mulai boros
energi. Itulah sebabnya bangunan-bangunan tersebut membutuhkan perawatan rutin. Kegiatan
operasionannya dipelajari. Gedung-gedung harus terus beradaptasi agar bisa
tetap bertahan.
Sekarang pertanyaannya adalah: akan umat
manusia beradaptasi dengan pemanasan
global dan bertahan? Atau akankah
kita gagal untuk belajar dari
kesalahan kita, dan tergoreng bersama
dengan planet ini?
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di
publikasikan tanggal di 1 Juli, http://annie65j.blogspot.sg/2013/07/technology-is-getting-smarter-so-why.html
[ proyek nrglab, pemanasan global, nrglab, nrglab pte ltd, nrglab singapore, nrglab сингапур, annie j, ana shell, University of Texas, Steven Moore, John Dawson, Star Trek ]
No comments:
Post a Comment